Di Balik Romantisasi Taj Mahal.

Symbol of Eternal Love? Think again. (Unfiltered #1)

Nugie
7 min readJul 8, 2020
Photo by Sylwia Bartyzel on Unsplash

Setelah ditutup selama tiga bulan akibat pandemi, pemerintah India menyatakan bahwa Taj Mahal akan dibuka kembali untuk umum pada 6 Juli 2020, tentunya dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat.

Sebagai salah satu bangunan paling terkenal di dunia, Taj Mahal telah ‘menyihir’ dunia dengan pesonanya yang indah. Sebagai salah satu bangunan yang termasuk dalam ‘7 Keajaiban Dunia’, mausoleum ini menjadi ikon kota Agra dan negara India, dan tercatat dalam UNESCO World Heritage Site, pada tahun 1983. Menurut Encyclopædia Britannica, Taj Mahal dibangun oleh kaisar Mughal Shah Jahān (berkuasa tahun 1628–1658) untuk memperingati kematian istri tercintanya, Mumtaz Mahal. Arsitektur Taj Mahal yang menggabungkan elemen bercorak India dan Persia membuatnya menjadi destinasi wisata yang populer. Selama ini Taj Mahal selalu identik dengan perwujudan cinta abadi seorang raja terhadap permaisurinya. Tapi apakah tepat demikian?

Karena umumnya sejarah ditulis oleh pemenang, maka banyak detail yang ‘disembunyikan’, biasanya untuk melindungi kepentingan penguasa. Ini-lah yang membuat saya terinspirasi untuk menggali lebih dalam tentang fakta sejarah (khususnya yang tidak pernah diajarkan di sekolah). Karena sejarah bersifat relatif, alangkah baiknya pikiran terbuka oleh berbagai perspektif berbeda, untuk menambah wawasan kita semua.

Wafatnya Mumtaz Mahal

Pada tanggal 6 Februari 1628, Shah Jahān naik tahta di kota Agra sebagai maharaja Mughal pertama di abad kedua dinasti tersebut berkuasa di sub-benua India. Dengan demikian permaisuri utamanya, Mumtaz Mahal (nama aslinya Arjumand Banu Begum), didaulat sebagai Malika-i-Jahan, atau ‘Ratu Dunia’. Menurut sejarawan E.B. Findley dalam bukunya Nur Jahan: Empress of Mughal India (1993:308), Mumtaz adalah wanita yang paling dicintai sang maharaja, yang dibuktikan dengan ‘tunjangan’ tahunan sebesar 1 juta rupee, yang menjadi rekor pada saat itu. Mereka berdua menikah pada tanggal 10 Mei 1612, setelah bertunangan sejak tahun 1607. Selama hidupnya sebagai wanita nomor satu di kekaisaran Mughal, Mumtaz turut serta dalam mengurus administrasi pemerintahan dan juga menemani sang kaisar dalam peperangan.

Selama 19 tahun pernikahan, mereka telah dikaruniai 14 anak. Sayangnya, Mumtaz meninggal dunia pada tahun 1631 akibat postpartum hemorrhage. Saat itu, ia baru saja melahirkan anak terakhir (seorang perempuan), yang bernama Gauharara Begum. Kematian ini bisa saja terhindarkan di era sekarang, namun pada saat itu bahkan lingkungan istana kaisar pun tidak memiliki pelayanan kesehatan yang memadai (mutakhir) untuk wanita hamil. Jika permaisuri termasyhur Mughal saja tidak bisa diselamatkan, bisa dibayangkan nasib rakyat jelata bila menghadapi komplikasi maternal pada zaman itu. Peneliti kesehatan Anant Kumar dalam jurnalnya yang berjudul Monument of Love or Symbol of Maternal Death: The Story Behind the Taj Mahal (2014:5), bahkan berpendapat Taj Mahal seharusnya menjadi monumen kematian maternal, yang hingga sekarang masih menjadi masalah di India.

Wikimedia Commons

Sejarah Bersifat Relatif

Sampai sekarang ini, masih banyak orang yang meragukan runutan sejarah pembangunan Taj Mahal dengan segala misteri yang menyelimutinya. Banyak pendapat berbeda yang telah dituangkan oleh para ahli dari masa ke masa, namun tidak semua rincian bisa disepakati bersama. Hal ini menyebabkan tidak adanya kebenaran yang pasti, karena catatan sejarah tentang India pada masa itu seringkali bertentangan, bukan melengkapi. Catatan yang menjadi acuan populer adalah buku karangan saudagar Prancis J.B. Tavernier berjudul Travels in India (1676:91). Dalam buku itu ia menulis:

“I witnessed the commencement and accomplishment of this great work, on which twenty-two years have been spent, during which twenty thousand men worked incessantly”.

Hal yang menarik adalah, Tavernier tiba di Agra pada tahun 1640, sementara kebanyakan catatan lain untuk saat itu menyatakan bahwa pembangunan Taj Mahal dimulai pada tahun 1631–1632, dan bukan dua puluh tahun sebelumnya. Untuk jumlah pekerja pun hingga sekarang masih diperdebatkan, karena pada tahun 1641 misionaris Portugis Fray Sebastian Manrique, justru menyatakan bahwa (hanya) ada sekitar seribu orang yang bekerja dalam pembangunan Taj Mahal. Tulisan paling menggegerkan datang dari Albert de Mandelslo, yang ketika berada di Agra pada tahun 1638, tidak menyebutkan sama sekali tentang Taj Mahal, walau ia sudah menulis tentang keseluruhan kota itu secara rinci dalam Voyages and Travels to West-Indies (1639:35).

Antique Maps Inc.

Romantisasi Palsu?

Menurut Wayne E. Begley dalam tulisannya The Myth of the Taj Mahal and a New Theory of Its Symbolic Meaning di The Art Bulletin (1979:7), awal mula terciptanya gagasan bahwa Taj Mahal adalah monumen pengabadian cinta, berasal dari tulisan sejarawan istana pada masa pemerintahan Shah Jahan, yakni Muhammad Amin Qazwini dan Abd al-Hamid Lahawri. Penggambaran dari keduanya tentang kesedihan yang dialami Shah Jahan adalah suatu retorika ala Persia yang berlebihan yang didorong oleh perkembangan gerakan seni dan sastra Romantisisme pada waktu itu.

Penggambaran sang kaisar sebagai seorang yang bijaksana dan penuh kasih sayang, justru bertentangan dengan laporan kontemporer tentang dinasti Mughal, yang menggambarkannya sebagai seorang tiran yang telah membunuh kakaknya sendiri (Khusrau) dan kerabat lainnya demi mendapat kekuasaan penuh atas tahta kekaisaran. Bahkan putranya sendiri (Aurangzeb) menganggap konstruksi Taj Mahal sebagai salah satu kelalaian ayahnya dalam mengelola keuangan istana, yang semakin terpuruk setelah pembangunan tersebut. Kesukaan Shah Jahan terhadap benda-benda mewah dan mahal seringkali dikritik sebagai salah satu bentuk keegoisannya. Menurut sejarawan terkemuka India Jadunath Sarkar dalam bukunya Studies in Mughal India (1919:30–31), pembangunan Taj Mahal menghabiskan dana sebesar 32 juta rupee pada waktu itu, atau 52,8 miliar rupee (827 juta USD) bila merujuk kepada nilai mata uang di tahun 2015.

Banyak sejarawan dan pakar keilmuan lain yang menyatakan bahwa Mumtaz Mahal tidak ubahnya merupakan dalih dari Shah Jahan untuk membangun monumen megah sebagai warisan demi kebesaran namanya. Narasi selama ini bahwa cinta satu-satunya sang kaisar adalah Mumtaz Mahal diragukan oleh pakar seperti Waldemar Hansen, yang mengumpulkan berbagai bukti perjalanan para penjelajah ke India di masa lampau ke dalam bukunya The Peacock Throne: The Drama of Mogul India (1986:198). Ia menemukan bahwa Shah Jahan memiliki konkupisensi (hasrat sensual/berahi) yang sangat tinggi, sampai-sampai ia memerintahkan pembangunan suatu aula besar yang berisi kaca-kaca besar, hanya supaya ia dapat melihat pantulan dirinya dan para wanita yang sedang bersamanya. Hal ini sudah menjadi sesuatu yang umum diketahui masyarakat pada saat itu, bahkan hingga para selir yang diundang ke istana diteriaki oleh para pengemis di pasar dengan sebutan ‘breakfast’ (sarapan).

© Photos.com/Thinkstock

Ungkapan Tersembunyi

Kita sampai kepada bagian yang jarang (atau bahkan tidak pernah) dibicarakan oleh guru sejarah manapun. Bagian yang sungguh sensitif, tapi berkorelasi langsung dengan alasan mengapa banyak pihak yang meragukan dan mempertanyakan tujuan pembangunan Taj Mahal sesungguhnya.

Ketika ahli geografi Belanda Johannes De Laet mengumpulkan laporan perjalanan dari para pelancong dan saudagar asing yang berada di Agra pada tahun kematian Mumtaz Mahal, ia menemukan bahwa banyak dari mereka yang mengklaim bahwa Shah Jahān ‘mengambil’ salah satu anak perempuannya sebagai ‘permaisuri pengganti’. Pernyataan ini didukung oleh tulisan penjelajah Inggris Peter Mundy pada memoarnya The Travels of Peter Mundy in Europe and Asia, (1633:203) sebagai berikut:

“This Shaw Jehan [Shah Jahan], amonge the rest, hath one named Chiminy Beagum, [probably Jahanara Begum] a verie beautiful Creature by report, with whome (it was openly bruited and talked of in Agra) hee committed incest.

Selain Mundy, ada beberapa penjelajah lainnya yang menceritakan tentang hubungan zina sang kaisar dengan istri dari para Amir (komandan perang/penguasa daerah). Dalam buku Emperors of the Peacock Throne: The Saga of the Great Mughals (2000:36), dinyatakan bahwa tamu kekaisaran Mughal dari Eropa, Manucci (Italia) dan François Bernier (Prancis) sering menyaksikan sang kaisar mengundang wanita ke istananya untuk menjadi concubine (selir) di harem-nya, dengan hadiah berupa perhiasan mewah. Akibat ‘kesibukan’ ini, sang kaisar melepas tanggungjawab militernya, dan lebih fokus terhadap urusan pribadinya di dalam istana. Dengan menghilangnya kebijaksanaan dan menurunnya kesehatan sang kaisar, putranya Aurangzeb (Ālamgīr) kemudian mengambil alih tampuk pemerintahan, memimpin dinasti Mughal menuju salah satu periode paling luar biasa sekaligus brutal dalam sejarah sub-benua India.

Photo by Giammarco Boscaro on Unsplash

Tentang Unfiltered

Dalam pemanfaatan Medium sebagai platform untuk menulis secara pribadi, penulis berupaya untuk menyajikan pemikiran personal (tentunya dengan landasan kuat) yang sekiranya mampu ‘menggelitik’ persepsi pembaca sekaligus memberi pengetahuan baru kepada pembacanya. Unfiltered hadir sebagai wadah bagi penulis untuk bereskpresi sebebas mungkin, tanpa batasan dari orang lain.

Catatan Penulis

Harus saya tegaskan sekali lagi kalau sejarah itu bersifat relatif. Kita tidak selalu bisa menemukan kebenaran absolut dalam suatu rangkaian peristiwa di masa lampau, karena perbedaan kepentingan dan latar belakang dari para penulis sejarah itu sendiri. Oleh karena itu, alangkah baiknya bila kita membuka pikiran kita terhadap perspektif yang berbeda, agar memperkaya wawasan. Artikel ini bertujuan untuk memberi edukasi dalam sudut pandang yang bukan arus utama, sehingga wajar saja bila ada ketidaksepahaman di antara kita. Jika ada saran untuk artikel selanjutnya, pembaca dapat menghubungi penulis secara pribadi.

--

--

Nugie

“If you only read the books that everyone else is reading, you can only think what everyone else is thinking.” — Haruki Murakami